Selasa, 26 Juni 2012

MASJID SEBAGAI SARANA DAKWAH DAN PENDIDIKAN DI TIMOR TIMUR (Sekarang Timor Leste)


 Di Timor Timur mushala yang pertama di bangun adalah di daerah Toko Tujuh, Kampung Arab (Desa Lecidere). Ketika itu sekitar tahun 1712 M, mushala tersebut sering digunakan sebagai sarana salat Jumat , salat fardu berjamaah, salat Id, atau digunakan sebagi tempat berkumpul ketika memperingati hari-hari besar Islam walaupun masih dalam kondisi yang sangat sederhana. Waktu itu, peleaksanaan seluruh kegiatan masjid masih sangat diwarnai oleh tradisi Hadramaut yang berurat dan berakar dalam kebiasaan masyarakat sekitarnya hingga kini. Oleh karena itu, sekarang ini kita masih akan menemukan kebiasaan membaca Barzanji pada setiap malam Jumat ketika anak diakikahi, dikhitan, ketika doa syukuran, atau ketika mengadakan walimah pernikahan. Di musahala ini dibacakan juga doa awal dan tutup tahun pada setiap akhir bulan Zulhijah. Setiap malam Jumat sering juga diadakan pembacaan doa bagi para arwah umat Islam yang telah meninggal dan mendoalan agar mereka mendapat tempat di sisi Allah. Ketika masyarakat Islam Dili dikenalkan wiridan dan ratib al-hadad yang  merupakan permohonan keselamatan dan perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai malapetaka. Pada setiap Ramadhan pun, selain diadakan salat taeawih dan witir, juga diadakan tadarus Al-Quran bersama. Hari-hari besar Islam pun diperingati secara sedderhana di mushala dengan membaca Barzaji Maulid yang disertai dengan kumandang zikir dan hadrah yang dipimpin oleh seorang imam dan dilanjutkan dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Setiap tanggal 10 Muharam diadakan doa Asyura yang diawali puasa sunnah pada 9 dan 10 Muharram yang dilaksanakan setelah salat magrib. Pada setiap 15 Syaban atau pada peringatan Nisfu Syaban ada pembacaan doa, salat sunnah, dan pembacaan surat Yasin tiga kali berturut-turut. Ketika itu peringatan-peringatan atau tata cara ibadah imat Islam itu tidak menimbulkan masalah bagi penganut agama lain maupun bagi kalangan pemerintah Portugal.



MASJID AN-NUR PERIODE INTEGRASI (1976/1977)

Pada tanggal 17 Juli 1976 terjadilah peristiwa yang sangat dinanti-nantikan, yaitu integrasi Timor Timur kea lam wilayah Republik Indonesia. Perjuangan seluruh rakyat Timor Timur yang tak mengenal lelah menghasilkan pemberian kebebasan kepada rakyat untuk membentuk partai rakyat dan menentukan nasib sMereka diperbolehkan menyelenggarakan pemilihan umum sehingga rakyat terbagi ke dalam unsure rakyat yang pro-Portugal dan pro-Indonesia, atau membuat partai tersendiri.
Pada saat-saat menjelang integrasi, Kampung Alor merupakan basis perjuangan integrasi. Sering sekali para pemimpin partai, yang ketika itu diketuai oleh Arlando dos reis Araujo dan Fernando Jose Osorio Soares sebagai wakil presiden partai mengadakan rapat-rapat partai di Kampung Alor bersama pejuang integrasi dari umat Islam. Dari Kampung Alor inilah muncul gerakan yang menuntut integrasi, yang kemudian melahirkan sukarelawan Indonesia.
Bantuan sukarelawan Indonesia kembali memulihkan ketenangan masyarakat Dili sehingga rencana pembangunan masjid An-Nur terlaksana tahun 1976. Masjid kecil itu diperbesar dan ditambah kubah. Mereka bekerja sama dengan anggota ABRI dari Batalion 501 Brawijaya. Pengurus masjid An-Nur pun mulai dibentuk di bawah pimpinan H. Salim Musallam Syagran, sekretaris H. Abdullah Musallam Syagran, dan Ketua Seksi Pembangunannya Ambarak bin Ahmad Bazhier, dibantu oleh pengurus lainnya.
Selain menangani berbagai pembanguanan sarana ibadah yang bersifat lahiriah, umat islam Timor Timur pun berupaya meningkatkan sumber daya umat Islam melalui peningkatan kualitas pendidikan. Upaya yang dilakukan ketika itu adalah mengirimkan putra daerah Timor Timur untuk belajar di pondok pesantren Pulau Jawa. Sebagai realisaasi, pada tahun 1977, pengurus masjid An-Nur yang bekerja sama dengan Tim Bantuan Teknis Departemen AGAMA Dili dan Bintal Kodahankam Timor Timur mengirimkan beberapa remajamuslim ke pondok pesantren yang ada di Jakarta atau di Pulau Jawa.
Setelah menamatkan pendidikannya, siswa-siswa terpilih tersebut kembali ke Dili. Sebagian dari mereka melanjutkan ke sekolah umum di Dili, ada juga yang menjadi pegai negeri. Dan mereka yang menekuni pendidikan tambahan di SPG Negeri Dili diangkat menjadi guru agama di sekolah Dasar Negeri Dili atau sekolah-sekolah lainnya.
Dari tahun ke tahun, berkat pembinaan dari Departeman Agama dan Pemda setempat uyang disertai semangat dakwah umat Islam dalam membina dan melaksanakan pembangunan bidang agam, kemajuan umat Islam Dili mulai Nampak. Awal-awal untegrasi digunakan untuk membangun berbagai sarana keagamaan, hinggga masjid, mushala, madrasah, dan panti asuhan mulai bermunculan. Kegiatan-kegiatan social pun mulai mereka garap. Tentu saja semua itu terdorong oleh rasa syukur dan semangat dakwah demi kemajuan Timor Timur khususnya dan pembangunan Negara Indonesia pada umumnya. Mereka betul-betul mengisi kemerdekaan yang telah diproklamasikan di Balibo yang kemudian dikenal Deklarasi Balibo, tanggal 30 November 1975.

MASJID: PUSAT PENDIDIKAN ISLAM

Sekitar tahun 1910 hingga 1916/1917, umat Islam Dili mendatangkan seorang guru dari Atapupu, Kabupaten Belu (NTT) untuk mengajar di masjid yang dibangun pada periode II (sekarang berada di Jalan Antonio de Carvalho), Lecidere, Dili. Guru dari Atapupu itu bernama Ali at-Tamimi yang diberi honor dari sumbangan umat Islam. Ketika Alu at-Tamimi kembali ke Nusa Tenggara Timur, kegiatan belajar-mengajar sempat mengalami kevakuman.
Tahun 1926 hingga tahun 1937/1938, umat Islam Dili kembali mendatangkan guru agama. Kali ini, guru yang didatangkan adalah guru terkenal dari Batavia, Habib Abdurrahman bin Ali al-Habsyi. Beliau membina madrasah Dili hingga 1938. Pada tahun 1938, beliau kembali ke Batavia untuk kemudian pindah ke Makassar beserta keluarganya, dan wafat di sana.
Masih tahun 1938, imam masjid An-Nur, Abdullah bin Salim Balafif meninggal dunia sehingga mulailah musyawarah pengangkatan imam. Hasilnya, H. Hasan Abdullah Balafif diangkat menjadi imam sekaligus menjadi guru madrasah pengganti Habib Abdurrahman dari tahun 1938 hingga 1992. Ketika itu, H. Hasan Abdullah Balafif baru selesai belajar agama di Arab. Beliau pun pernah menjadi imam, khatib, dan guru mengaji pascaperang Jepang di mushala Loromato (Komoro Dili) yang kemudian digantikan oleh H. Abdullah Basyarewan karena beliau mendirikan masjid An-Nur di Kampung Alor tahun 1955/1956. Sejak tahun 1976 hingga 1977 beliau pun bertugas menjadi imam dan wakil imam di masjid An-Nur hingga kini. Ketika itu pelajaran yang diberikan adalah Al-Quran, bahasa Arab, bahasa Indonesia (Melayu), ilmu agama Islam, olah raga, dan praktik salat. Pada tahun 1976/197, beliau berhenti menjadi guru madrasah karena usia sudah lanjut. Karena itu, bulan April tahun 1977, pengurus masjid mengontak tenaga guru baru ke Kupang.
Pada perkembangan selanjutnya, karena jumlah murid semakin membengkak sementara tenaga pengajar asngat terbatas, pada awal tahun ajaran 1978, H. Abdullah Basyarewan diangkat sebagai guru Madrasah Diniyah dan H. Hasan Balafif sebagai Pengawas/Kepala Madrasah. Dengan adanya tenaga tambahan tersebut, kegiatan belajar-mengajar dan pembagian kelas menjadi agak teratur. H. Abdullah Basyarewan mengajar TK serta SD kelas I, II, III dalam satu ruangan, kemudian ruangan mereka disebut ruangan I. Penulis mengajar kelas gabungan dari kelas IV hingga kelas VI dalam ruangan lain yang disebut ruangan II.
Pada pertengahan tahun 1978, pengurus membuka Taman Kanak-Kanak agar tidak mengganggu anak-anak SD dengan pimpinan H. Abdullah Basyarewan. Kesulitan tenaga pengajar menyebabkan pengurus madrasah meminta bantuan Rahimah Daeng untuk menjadi guru Bantu di Taman Kanak-Kanak. Namun guru bantu itu berhenti karena merasa terlalu berat jika harus mengajar di Taman Kanak-Kanak. Pengawas atau kepala sekolah, H. Hasan Balafuf bertugas mengawasi kegiatan belajar-mengajar dan membantu kami dalam pelajaran praktik salat.

PERKEMBANGAN MADRASAH DINIYAH AN-NUR

Sejak tahun 1977 hingga 1979, Madrasah Diniyah An-Nur mulai menunjukan perkembangan karena hanya An-Nur-lah satu-satunya madrasah tempat menggodok generasi muda di Timor Timur. Dengan demikian, fasilitas dari umat Islam Dili selalu mengalir. ANak didik sering mendapatkan bantuan alat-alt tulis. Sekitar tahun 1978, madrasah pun sempat memperoleh bantuan jam dinding dan sejumlah alat tulis dari Istri Panglima Kodahankam Timor Timur. Kanwil Departemen Penerangan Provinsi Timor Timur pernah memberikan pesawat televise; Kwartir Nasional Pramuka memberikan kitab terjemahan AL_Quran senyak 30 Juz, pakaian seragam pramuka, terjemah Juz Amma, serta kelengkapan lainnya.
Berkat keuletan pengurus masjid An-Nur, secara bertahap Madrasah Diniyah An-Nur ditingkatkan menjadi Madrasah Ibtidaiyah dan pada tahun-tahun berikutnya berhasil membuka Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah dengan tenaga pengajar baru dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dili. Dengan demikian, madrasah yang terdapat di Timor Timur adalah Madrasah Ibtidaiyah Swasta, Taman Kanak-Kanak, Nadrsah Tsanawiyah, Madrash Aliyah, dan madrasah yang khusus mempelajari Al-Quran (TPA). Kepala Madrasah, TK, dan TPA ayang ada di lingkungan Yayasan An-Nur adalah Usman Humole (Madrasah Ibtidaiyah); Roefi’af (Madrasah Tsanawiyah); H. Ghairil Asrori Yahya (Madrasah Aliyah); serta Hj. Faizah al-Hamidi, B.A. (Taman Kanak-Kanak dan TPA).
Selain madrasah yang telah disebutkan di atas, Yayasan An-Nur pun mendirikan Taman Kanak-Kanak Paralel di Maliana Kabupaten Bobonaro yang dikepalai oleh Ainur Rafiq. Selain itu, Yayasan An-Nur pun mendatangkan dai-dai dari Jawa melalui Yayasan Masjid Al-Falah Surabaya dan Dewan Dakwah Islamiah Jakarta. Mereka yang tiba di Dili tahun 1981 adalah H. Sumitro Mangku Sasmito, M. Abidin, Subchan, Abu Salamah, Yazud Saleh, Syafi’in Nur Alim, Ahmad Muhtadi, M. Rois, Abdul hamid Alvin, Ahwan, Fauzi Ridwan, Maftabah, Ainur Rafiq, Ashari Rabun, M. Juamidi, Roefi’an, dan lain-lain. Para dai itu dating dating dalam tiga tahap, yaitu tahun 1981, 1983, 1985. Selain itu, siswa-siswa yang dahulu dikirim ke pondok pesantren Sulawesi Selatan, Jawa, dan lain-lainnya, telah berdatangan dan diangkat sebagai dai atau guru agama di madrasah-madrasah Timor Timur.

Dirangkum dari :
JUDUL BUKU     : ISLAM DI TIMOR TIMUR
PENULIS             : AMBARAK A. BAZHER
PENERBIT           : GEMA INSANI PRESS
                                Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
                                Telp. (021) 7984391 – 7984392 – 7988593
                                Fax. (021) 7984388
CETAKAN           : Pertama, Dzulhijjah 1415 H – Mei 1995 M
ISBN                     : 979–561–319-7
HALAMAN         : 142 halaman

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More